Dalam budaya masyarakat tertentu memang ada semacam aturan kepatutan tidak tertulis bahwa wanita tidak elok jika ngangkang ketika duduk, atau melakukan hal-hal lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan dengan posisi ‘tidak ngangkang’. Artinya sebenarnya ada pengecualian jika berkaitan dengan keleluasaan dalam bergerak, khususnya untuk aktivitas-aktivitas yang memang membutuhkan keleluasaan itu.
Tradisi budaya yang bersangkut paut dengan etika bagaimana perempuan berperilaku itu hidup di masyarakat selamat ratusan tahun. Di tradisi jawa misalnya, ada semacam etika kesopanan yang tidak tertulis, bahwa wanita tidak boleh tertawa terbahak-bahak dan bersuara keras. Tradisi ini diajarkan turun temurun. Begitu banyaknya aturan yang bersangkut paut dengan etika bagi perempuan, maka di tradisi budaya jawa sebutan wanita dimaknai sebagai ‘wanito: wani ditoto’, atau perempuan yang bersedia diatur.
Dalam perpektif budaya jawa, tujuan etika bagi perempuan itu untuk ‘menegakkan’ kehormatan bagi wanita. Ada berbagai tradisi budaya dan etika di nusantara ini yang ditujukan bagi kaum perempuan. Karena itu jika perempuan tidak berperilaku sesuai dengan etika budaya tersebut, dipandang masyarakat sebagai perilaku ‘ora ilok’ atau tidak elok. Meskipun sebenarnya budaya Jawa juga mengatur perilaku laki-laki. Continue reading