e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (3)

e-Sermon Dan Pendeta Google

Kemajuan internet telah memudahkan manusia dalam mencari informasi apa saja yang diperlukan dalam mencari jawaban terhadap berbagai persoalan manusia. Mesin pencari informasi, seperti Google, telah menjadi penolong bagi manusia dalam upaya mencari tahu hal-hal yang baru, mengkonfirmasi hal-hal yang menjadi kebingungan manusia, mencari jalan keluar dalam persoalan-persoalan manusia. Termasuk jawaban akan persoalan spiritual manusia. Dan untuk urusan spiritual ini, “Pendeta Google” telah menjadi penasihat yang dihandalkan bagi penggunanya. Bagaimana tidak. Seseorang bisa mengetik di papan keyboard komputernya yang terhubung internet dengan sebuah pertanyaan, “tips mengatasi depresi”, dan dalam sekejab mesin pencari akan memberikan sekian ribu (bahkan mungkin jutaan) tautan yang bisa menjadi alternatif jawaban bagi orang tersebut. Jawaban itu bisa menguatkan orang tersebut, tetapi bisa menghancurkannya.

Pencarian jawaban akan berbagai persoalan manusia dalam dunia digital ini, bisa menjadi sebuah pola baru yang bisa “mereduksi” peran gereja dalam membangun spiritualitas jemaatnya. Terutama jika gereja tidak memiliki sebuah kesadaran akan perubahan pola perilaku jemaatnya ini. Atau jika gereja kurang peduli atau kurang memahami persoalan-persoalan kekinian jemaatnya yang banyak berinteraksi di media digital ini, sehingga kotbah atau program pelayanan gereja tidak memberikan jawaban yang dibutuhkan oleh jemaat tersebut. Maka terjadilah “Jaka sembung naik ojek”. Kotbah pendeta di mimbar tidak relevan dengan situasi jemaatnya. Dan sang “pendeta” Google-pun tidak sungkan-sungkan menggantikan peran itu.

Lalu bagaimana peran gereja dalam merespon persoalan spiritualitas di dunia digital ini? Tentu jika semakin banyak dan intensif gereja hadir di dunia digital ini, akan semakin banyak manfaat yang akan diambil oleh setiap pengguna internet yang mempunyai kebutuhan akan persoalan spiritualitas itu. Kehadiran gereja tentu saja melalui banyak cara. Para pendeta yang rajin menulis di blog pribadinya, facebook, twitter, atau menulis di berbagai komunitas-komunitas online bisa menjadi alternatif untuk merawat jemaatnya yang juga rajin menjelajah dunia digital itu. Sebuah e-counseling (penggembalaan elektronik) pun tercipta melalui cara ini. Interaksi pendeta dan jemaatnya di media jejaring sosialpun akan menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan tulisan-tulisan pendeta yang aktif di dunia digital itu bisa dinikmati oleh setiap pengguna internet lainnya yang ingin mencari tahu lebih lanjut tentang sebuah isu atau persoalan yang kebetulan relevan dengan tulisan-tulisan tersebut. Bukankah, tanpa kita sadari gereja sedang meluaskan misi (baca: pengaruhnya) dalam dunia digital yang tidak kalah padat penduduknya itu?

Cara lain adalah bagaimana gereja mendorong jemaatnya yang aktif dalam dunia digital tersebut untuk berperan menjadi e-preacher yang menyuarakan gagasan-gagasan kristiani melalui jejaring sosial yang diikutinya, blog, atau komunitas-komunitas online lainnya. Para “aktivis gereja” di media sosial inilah yang menjadi suara gereja dengan membawa isu-isu spiritual yang relevan dengan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi jemaat dan masyarakat di networking society ini. Karenanya gereja perlu mendidik jemaat warga gereja pengguna jejaring sosial untuk berinteraksi di dunia digital tersebut secara bertanggung jawab dan mendorongnya untuk menjadi berkat dan suar bagi masyarakat digital.

Namun jelas bahwa gagasan e-sermon (kotbah elektronik), tidak akan menggantikan pola bergereja saat ini. Persekutuan yang real (nyata) dan berwujud tetap menjadi sebuah kebutuhan utama yang tidak tergantikan oleh persekutuan yang terjadi dalam jejaring di network society ini. Jemaat tetap perlu berinteraksi dalam sebuah persekutuan yang hangat untuk belajar menggumuli firmanNya, baik melalui ibadah pemahaman alkitab maupun melalui kotbah di mimbar. Ini dikarenakan persekutuan dalam jejaring sosial di dunia digital tetap memiliki keterbatasan. Manusia pada dasarnya tetap membutuhkan interaksi langsung yang bersifat individual dengan sentuhan kemanusiaan dan perhatian yang mendalam, agar gejala kekeringan hubungan akibat perubahan pola relasi manusia ini bisa diatasi. Namun gagasan penetrasi gereja ke dunia digital ini merupakan sebuah gagasan pengembangan pelayanan gereja yang harus digumuli dan disikapi oleh gereja, akibat dari perubahan pola interaksi manusia tersebut.

Penutup

Tugas utama gereja adalah mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Dalam konteks perubahan pola relasi dan perilaku jemaat dan masyarakat akibat kemajuan teknologi informasi tersebut, maka tugas itu dijalankan dengan mengoptimalkan sarana informasi dan teknologi yang berkembang saat ini.

Gereja perlu “melek” terhadap perubahan yang sedang berlangsung ini. Generasi muda gereja sebagian besar paham akan “benda-benda” yang ada dunia digital ini. Mereka adalah generasi yang lekat dengan teknologi. Karena itu gereja bisa memberdayakan generasi muda untuk mengembangkan model-model penerapan komunikasi dan informasi yang tepat bagi pengembangan pelayanannya. Gereja tidak perlu takut atau kuatir – sikap ini yang sering menjadi penghambat dalam penerapan teknologi di gereja – jika gagasan-gagasan model komunikasi dan informasi diaplikasikan untuk mendukung pelayanan gereja.

Pusaran arus perubahan pola interaksi dan komunikasi di dunia digital ini harus menyadarkan gereja untuk segera memikirkan cara-cara baru dalam merawat jemaatnya. Teknologi itu sudah memberikan banyak alternatif kemudahan untuk memecahkan banyak persoalan komunikasi dan informasi. Dan karenanya gereja seharusnya mulai mengaplikasikannya untuk menjawab tantangan pelayanan kedepan. Tentu gereja tetap perlu memikirkan bagaimana cara mereduksi dampak-dampak dari teknologi itu sendiri, agar esensi pelayanan gereja tetap dipertahankan.

Gereja seharusnya juga meresponi kebutuhan jemaat dan masyarakat yang terhubung dalam jejaring komunikasi yang besar ini, dengan terus menerus memikirkan kehadirannya dalam dunia digital ini agar tugas kesaksian dan persekutuan gereja terus berkembang. Jemaat-jemaat juga didorong dan diperlengkapi dengan nilai-nilai kristiani yang kuat, agar mampu melakukan tanggung jawab dan panggilannya untuk menjadi suar dan berkat di dunia digital ini. Semoga!

e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (2)

e-Relation Dan Penetrasi Gereja

Kebutuhan manusia yang hidup dalam jaman digital ini sangat berbeda dengan kebutuhan di jaman sebelumnya. Arus modernisasi dalam pola dan cara berkomunikasi yang begitu cepat, mengobah pola dan perilaku manusia yang serba cepat pula. Karena itu organisasi, termasuk gereja, yang lambat meresponi kebutuhan anggotanya akan semakin kewalahan dalam memenuhi apa yang diharapkan oleh mereka. Dan terjadilah gap dalam pelayanan organisasi kepada anggotanya.

Dalam dunia digital, keterpautan antara individu tercipta dalam sebuah pola interaksi melalui jejaring sosial yang menguat melalui kemajuan teknologi informasi ini. Jejaring ini melahirkan pertukaran informasi dan data yang secara cepat terjadi di antara masyarakat pengguna jejaring sosial, dan menciptakan hubungan-hubungan baru yang bisa positif maupun negatif. Pola komunikasi yang terbangun dalam dunia digital melalui jejaring sosial (milis, twitter, facebook, skype dan sebagainya) meskipun intens, tetapi tetap memiliki keterbatasan. Interaksi yang tanpa sentuhan hati, keterbukaan yang “terbatas” karena tidak akan mampu mengungkapan perasaan terdalam individu, pencitraan yang maya atau palsu menjadi sebuah model atau pola relasi yang kering.

Teknologi digital memang mampu mempertemukan individu di luar batas-batas komunitas yang dimilikinya dan menciptakan banyak persahabatan-persahabatan baru, relasi-relasi yang baru yang memungkinkan proses interaksi ide, gagasan, ideologi, dan iman terjadi. Di satu sisi terciptanya hubungan dari jejaring di jaman digital ini bisa memerosotkan pribadi manusia ketika terjadi proses manipulasi dan monopoli secara tidak bertanggung jawab. Penciptaan hubungan baru ini sekaligus memberikan ruang “pertikaian” yang meluas dalam interaksi antar manusia ketika terjadi konflik dalam “relasi digital” tersebut, oleh karena kecepatan informasi yang sulit dicegah dalam penyebarannya. Namun di sisi lain adalah sebuah peluang untuk menyatakan kehadiran khas kristiani dalam dunia jejaring digital ini melalui berbagai bentuk komunikasi yang jujur, terbuka, hormat, membangun, dan bertanggung jawab. Penetrasi gereja dalam media baru ini tidak sekedar mendorong jemaat membawa isu-isu religius secara terbuka dan bertanggung jawab dalam panggung media, tetapi juga suara yang setia di dunia digital itu tentang berbagai pergumulan anggota jemaatnya yang menuntut pertanggungjawaban atas berbagai pilihan yang diambil dan di”share”kan melalui jejaring sosialnya.

Karena itu gereja harus mendorong kehadiran orang percaya dalam relasi digital ini untuk bisa secara kreatif dan bertanggung jawab, dengan tetap mendepankan sebuah komunikasi dalam relasi yang penuh hormat, menggugah kesadaran kemanusiaan, membuka cakrawala intelektual dan spiritual yang lebih luas, dan memperkenalkan iman dalam arti seluas-luasnya.

Gereja harus terus mendorong sebuah relasi yang utuh yang tidak mampu diberikan dalam sebuah pola relasi digital yang terbatas tersebut. Bahwa relasi antar manusia adalah relasi kepribadian, karena itu relasi digital tersebut tidak akan pernah mampu menjawab kebutuhan interaksi manusia yang seutuhnya. Perubahan cara berinteraksi manusia ini akan berpengaruh besar dalam pelayanan gereja yang menekankan makna persekutuan yang utuh dan hangat dalam kehidupan gereja. Perlu sebuah kreativitas dari pelayanan gereja agar perubahan pola interaksi ini diarahkan dalam sebuah model dan bentuk persekutuan (fellowship) yang tetap memanfaatkan kemajuan digital ini, namun tetap memberikan arah dan pemaknaan akan arti persekutuan yang seutuhnya. Yaitu bagaimana, meski di dunia digital, anggota jemaat tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan keutuhan dan kejujuran.

Namun e-relation ini tetap harus dibawa ke dalam ranah persekutuan yang menghadirkan interaksi fisik yang memungkinkan relasi yang utuh itu benar-benar terjadi. Jejaring sosial hanya sebuah alat penciptaan hubungan yang memudahkan interaksi antar individu terjadi dengan lebih luas dan cepat. Gereja memanfaatkan kemudahan dan kecepatan dalam interaksi manusia tersebut untuk membangun komunikasi dan berbagi informasi yang kemudian membawanya ke dalam persekutuan yang sebenar-benarnya. Karenanya, gereja rasanya harus hadir dalam jejaring-jejaring sosial untuk mendekatkan diri dengan jemaatnya yang sedang menjelajahi hubungan-hubungan baru di dunia itu, sekaligus merawat jemaatnya yang ada dalam dunia digital tersebut.

e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (1)

Perubahan dunia sedang berlangsung. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengintegrasikan bumi dalam sebuah komunitas global yang saling terhubung satu dengan yang lainnya, tanpa batasan waktu dan jarak. Perkembangan teknologi informasi dan teknologi komunikasi telah menciptakan sebuah cara baru dalam kehidupan yang dikenal dengan e-lifeyaitu sebuah kehidupan yang dipengaruhi ‘proses elektronik’ dari peralatan-peralatan media informasi dan komunikasi. Perubahan-perubahan ini telah membentuk sebuah masyarakat baru yang disebut sebagai Network Society. Masyarakat ini bercirikan multikultural dalam berbagai aktivitasnya. Proses globalisasi yang mentransformasikan kehidupan individu manusia dan komunitas masyarakat dunia ini, terus berlangsung secara cepat seiring dengan percepatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi itu.

Melalui teori evolusinya, Darwin pernah mengemukakan tentang “survival of the fittest”, maka di era digital yang ditandai dengan perubahan yang cepat dalam teknologi informasi dan komunikasi ini, maka berlakulah “survival of the fastest”. Hilbert dan Lopez, peneliti dari University of Southern Californiamengidentifikasi perubahan teknologi informasi dan komunikasi saat ini dalam sebuah kecepatan eksponensial. Hanya diperlukan kurun waktu 14-34 bulan untuk terjadinya peningkatan kapasitas informasi dan telekomunikasi global sebanyak dua kali lipatnya. Dengan pola perubahan seperti itu, maka yang “bertahan” dalam badai digital ini adalah yang mampu secara cepat beradaptasi dengan teknologi dan memanfaatkannya untuk mendorong perubahan dan transformasi dalam organisasinya. Tidak terkecuali gereja, sebagai sebuah organisasi. Organisasi yang tidak mampu mengantisipasi perubahan teknologi dalam media informasi dan komunikasi ini akan menjadi organisasi yang tidak efisien, lambat, kaku, tidak responsif, dan tidak memuaskan pemangku kepentingan (stakeholders) dari organisasi tersebut.

Ketika revolusi Industri mampu mentransformasi masyarakat melalui perubahan-perubahan dalam kegiatan produksi dan pekerja, maka revolusi teknologi informasi juga mengakibatkan perubahan yang sangat fundamental di dalam proses dan cara berkomunikasi masyarakat sekarang ini. Kemajuan teknologi internet, misalnya, telah menciptakan sebuah communication network (jejaring komunikasi) yang menjadi sebuah sarana penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jejaring komunikasi yang baru ini mampu melahirkan proses atau cara belajar yang baru pula, sehingga manusia sekarang sedang hidup dalam sebuah transformasi budaya yang begitu besar dan massive.

Peluang-peluang interaksi antar manusia dan organisasi dengan cara-cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu membuka cakrawala baru tentang sebuah dunia baru yang sedang didominasi oleh begitu banyak kemungkinan yang akan dihadirkan melalui media komunikasi dan informasi yang baru tersebut. Perubahan dunia yang sedang terjadi akibat dari transformasi yang sedang berlangsung ini mengubah seluruh tatanan sosial dan budaya masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Sekaligus menjadi sebuah tantangan yang sangat serius tentang makna komunikasi di masyarakat yang serba digital dengan segala kecanggihan dan kerumitannya itu. Semua individu dan organisasi, tidak terkecuali gereja, terhisap dalam proses transformasi ini. Pertanyaannya adalah sejauh mana hasil kecerdasan dan kecakapan manusia ini, bisa diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kebaikan manusia itu sendiri. Bagi gereja, bagaimana memanfaatkan media hasil kecakapan manusia ini untuk memenuhi dan melayani hasrat manusia akan kebenaran dan memberikan pelayanan yang optimal bagi jemaat dan masyarakat.

e-Office Dan Komunikasi Dalam Pelayanan Gereja

Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan individu dan organisasi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kecepatan dalam berbagai aktivitas. Teknologi komputer yang terhubung dalam jejaring di sistim manajemen informasi telah memudahkan orang dan organisasi untuk berbagi data dan informasi secara cepat, sehingga memperkuat proses dalam pengambilan keputusan, baik yang bersifat operasional maupun strategis. Demikian juga dalam interaksi antar individu dan organisasi melalui teknologi informasi untuk berbagi data dan informasi juga berlangsung secara cepat. Sebagian besar individu dan organisasi di kota besar amat tergantung kepada konektivitas teknologi informasi ini. Hampir semua terhubung dalam sebuah sistim informasi yang sangat besar lalulintasnya, sehingga pertukaran data terjadi dengan sangatmassive dan cepat, apalagi ketika pola transfer data itu ditunjang melalui mobile internet yang bisa diakses dari sebuah telepon genggam.

Terjadi pergeseran dalam proses pengelolaan organisasi, dari fasilitas fisik menjadi jejaring (networking), dari fasilitas kertas menjadionline, dari siklus waktu berkala menjadi real time, dari ruang menjadi everywhere.

Kecanggihan sistim informasi dan komunikasi yang banyak diterapkan di berbagai organisasi ini telah menciptakan penyederhanaan (simplifikasi) pola manajemen kantor menjadi jauh lebih efisien dalam waktu dan biaya. Sistim database organisasi rapi, akurat, mudah diakses, dan aktual menjadi sebuah kekuatan organisasi untuk mengoptimalkan semua sumberdaya (resources) yang dimilikinya untuk meningkatkan layanan dan kinerja organisasi. Kecepatan akses, keakuratan, dan keaktualan informasi akan memudahkan setiap pelaku organisasi untuk merencanakan dan mengelola kegiatan layanannya, juga termasuk bagaimana bisa melayani stakeholders-nya dengan lebih baik dan lebih optimal.

Gereja memiliki banyak pemangku kepentingan (stakeholders), yang sangat berkepentingan terhadap “pelayanan yang seperti apa dan bagaimana” yang akan dilakukan oleh gereja. Di antara pemangku kepentingan itu adalah jemaat, pelayan jemaat, pendeta, karyawan gereja, masyarakat sekitar, gereja klasis/sinode, lembaga Kristen atau mitra GKI, lembaga masyarakat lainnya, maupun pemerintah. Untuk memenuhi harapan stakeholders, maka gereja sebagai organsisasi perlu mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimilikinya agar bisa terlibat dan berpartisipasi dalam menggerakkan pelayanan yang dirancangnya. Sumberdaya yang terorganisir dalam sebuah sistim informasi gereja akan memudahkan para pelayan jemaat (pendeta, majelis jemaat, pelayan jemaat) dalam merencanakan, mengkoordinir, dan mengelola pelayanan dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya yang mudah diakses tersebut. Misalnya, jika sistim informasi gereja mampu memetakan karakteristik jemaat secara baik tentang: profesi, kompetensi, ketrampilan, talenta yang dimiliki oleh jemaat, maka jika gereja ingin merencanakan sebuah pelayanan yang membutuhkan keterlibatan jemaat, sistim informasi tersebut akan membantu pelayan jemaat di dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan jemaat-jemaat yang memiliki kompetensi atau profesi yang relevan dengan pelayanan yang akan dikerjakan. Melibatkan jemaat untuk melayani sesuai kompetensi dan ketrampilan yang dimiliki menjadi lebih mudah, dibandingkan ‘memaksa’ jemaat untuk ikut melayani di gereja, tetapi tidak sesuai dengan “apa” yang dimilikinya.

Membangun sistim informasi gereja bisa akan costly (membutuhkan biaya besar), bisa juga tidak, tergantung kepada tingkat kebutuhan gereja yang bersangkutan. Tetapi bahwa gereja perlu memanfaatkan semua kemajuan teknologi untuk membangun jejaring dengan jemaatnya adalah hal yang penting, terutama gereja di perkotaan. Secara sederhananya asalkan terhubung dengan internet saja, gereja sudah bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan jemaatnya dalam berbagai cara dan media di dalamnya, sehingga rencana-rencana pelayanan bisa dibagikan dan jemaat bisa digalang untuk terlibat dalam pelayanan yang direncanakannya tersebut. Dan dengan demikian gereja bisa melayani jemaat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kapan pun itu anggota jemaat dan jemaat bisa berkomunikasi dengan gerejanya.

Perkembangan teknologi komunikasi lainnya, seperti blackberry,smart phone android, tablet dan sebagainya, telah memungkinan proses komunikasi berlangsung secara cepat dan real time. Ada banyak cara atau teknologi untuk mengkomunikasikan pesan dengan cara yang cepat, dan bersifat massal itu. Teknologi ini bisa digunakan oleh gereja untuk menginformasikan berbagai berita tentang pelayanan dan kegiatan gereja, sehingga jemaat selalu terupdatedengan informasi pelayanan tersebut. Di jaman digital ini, agak aneh rasanya jika gereja kesulitan dalam  membangun komunikasi virtualdengan jemaatnya, kecuali bahwa gereja tidak memiliki atau kurang peduli dengan sistim database jemaat.

Penggunaan teknologi multimedia (teks, audio, video, grafik, animasi) memungkinkan proses komunikasi menjadi jauh lebih menyentuh, menarik, interaktif, dan integratif, sehingga presentasi untuk mentransfer pengetahuan, pemahaman, maupun pergumulan pelayanan gereja akan mudah untuk ditangkap, dipahami, dan akhirnya dimiliki oleh seluruh jemaat gereja melalui keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas gereja. Baik dalam aktivitas peribadatan maupun pertemuan-pertemuan jemaat lainnya. Dengan penggunaan teknologi multimedia, kemampuan gereja dalam mentransfer visi pelayanan menjadi jauh lebih meningkat dan menguat, sehingga dukungan terhadap pelayanan gereja seharusnya juga semakin solid.`

Craftsmanship

“Lihat, telah Kutunjuk Bezaleel  bin Uri bin Hur,  dari suku Yehuda, dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah  , dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan,  dalam segala macam pekerjaan (craftsmanship)” (Keluaran 31:2-3)

Bezaleel adalah seorang lelaki Israel yang ditunjuk untuk mengarsiteki pembangunan Kemah Suci dan segala macam peralatannya. Bezaleel ditunjuk karena ia adalah tukang yang ahli dalam bahan bangunan. Ia juga piawai dalam seni dan ukir-mengukir kayu, logam, dan batu berharga. Dalam pelaksanaan pembangunan Kemah Suci, ia banyak mengajarkan kepiawaiannya itu kepada pekerja-pekerja lain.

Seorang Bezaleel memiliki kapasitas yang dibutuhkan dalam proyek pembangunan Kemah Suci, yaitu: keahlian, pengertian dan pengetahuan.  Tetapi yang paling penting adalah kemampuan untuk mengintegrasikan ketiga itu ke berbagai macam pekerjaan yang kompleks itu.

Tidak cukup seorang Bezaleel memiliki kualitas keahlian, tanpa didukung oleh pengetahuan dan hikmat dalam memahami kehendak Tuhan. Pekerjaan Kemah Suci itu harus dibuat tepat sesuai yang diperintahkan Tuhan kepadanya (Keluaran 31:11). Artinya pekerjaan dari Tuhan itu harus dilakukan dengan kualitas unggul dan penuh integritas sesuai yang dikehendaki Tuhan.

Bill Johnson dalam bukunya “Dreaming with God” menjelaskan istilah craftsman sebagai orang yang mengerjakan pekerjaan atau tugas yang diberikan Allah dengan kualitas unggul (excellence), penuh kreativitas, dan integritas.

Dalam pemahaman tersebut, maka craftsman adalah seorang yang memiliki “keahlian” (craftsmanship) dan membawa semangat keahlian (power of craftsmanship) itu dalam berbagai bidang yang digelutinya. Menurut Bill, di dalam aspek “keahlian” itu terkandung prinsip kreativitas dan kebaruan (inovasi).

****

Pelayanan alumni sejatinya adalah pelayanan untuk menghidupkan craftsmanship alumni melalui pergumulan spiritualitas dalam  menemukan titik vokasinya. Membangun kualitas keahlian (craftsmanship) yang mumpuni tidak sekedar tentang keahlian, ketrampilan dan pengetahuan, tetapi termasuk sikap dan karakter yang menyertainya.

Seorang alumni yang hidup sebagai craftsman adalah alumni yang mampu mengintegrasikan antara kualitas keahlian dengan kualitas iman. Prinsip hidup mencari kehendak Tuhan menjadi hal penting dan mendasar dalam hidup alumni.

Prinsip kebaruan selayaknya menjadi urat nadi hidup alumni. Sehingga seorang alumni selalu berinovasi dalam rangka perubahan dan pertumbuhan dirinya. Jika kehidupan seorang alumni mandeg dan stagnan, maka ia mulai melupakan jatidirinya sebagai seorang craftsman.

Dalam acara sebuah Kamp Nasional Alumni 2015 yang lalu dideklarasikan menifesto alumni. Dari 7 butir manifesto alumni, manifestó ke-6 berbicara tentang craftsmanship alumni. Manifesto butir ke-6 itu berbunyi “kami bertekad menjadi pribadi yang berkualitas, unggul, produktif, berkebaruan (berinovasi), beretika, bermental pemimpin yang melayani di setiap profesi kami”.

Jika spirit of craftsmanship ini hidup dalam diri setiap alumni, maka alumni akan menjadi pribadi-pribadi yang memberi pengaruh kuat bagi lingkungannya. Dan pengaruh itu akan mendorong perubahan dalam masyarakat dan bangsa.

Maka tantangan pelayanan alumni adalah bagaimana memperkuat pembinaan alumni agar spirit of craftsmanship itu terinternalisasi dalam kehidupan alumni. Pemuridan alumni adalah kunci untuk memperkuat hal itu. Karena itu adalah fondasi untuk menumbuhkan, memperkuat, dan mentransfer spirit of craftsmanship itu dalam hidup alumni.

****

Peter Drucker, seorang pakar manajemen terkemuka dunia, pernah mengatakan “Time is the scarcest resource: and unless it is managed, nothing else can be managed”. Dalam dunia yang penuh kompetisi ini, maka waktu adalah sumberdaya yang amat langka. Jika tidak mampu dikelola dengan baik, waktu (bisa dipahami sebagai kronos dan kairos) akan hilang.

Sebagai bangsa, kita sudah kehilangan banyak waktu untuk berbenah. Peningkatan indeks kompetisi global (GCI: Global Competitiveness Index) kita belum bergerak signifikan. Kita masih dibawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, meskipun kita memiliki potensi sumberdaya manusia yang besar.

Revolusi mental yang diangkat oleh Presiden Jokowi, sejatinya adalah sebuah revolusi untuk mengelola waktu tersebut, agar bangsa Indonesia tidak kehilangan momentum untuk menjadi bangsa yang unggul. Waktu harus direbut dengan sebuah revolusi kesadaran tentang pentingnya membangun kesejalanan antara kualitas keahlian dan kualitas karakter bangsa.

Jadi revolusi mental ini adalah sebuah gerakan untuk mendorong spirit of craftsmanship kita sebagai bangsa Indonesia.  Budaya dan karakter unggul, kreatif, dan inovatif adalah jantung dari spirit of craftsmanship.  Ini lahir dari kombinasi dan integrasi antara ketrampilan (kompetensi), pengertian (hikmat atau wisdom), dan kedalaman akan pengetahuan.

Tugas menghadirkan craftsmanship adalah tugas kita bersama sebagai bangsa. Dan alumni sebagai bagian dari kaum intelektual di masyarakat, punya peran mendorong perubahan itu. Pelayanan alumni harus didorong agar memfasilitasi peran-peran alumni sebagai craftsman di berbagai bidang. Bukankah itu sebuah tantangan yang besar?

Jembatan

Jembatan

“I will be your bridge over deep water if you trust in me”. Sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Rev Claudia Jeter, seorang penyanyi Gospel dari kwartet “Silverstone”, telah menginspirasi Paul Simon untuk menulis lagu “Bridge Over Troubled Water”. Lagu ini adalah refleksi persahabatan Simon dan Jeter, bercerita tentang pengorbanan seorang sahabat. Berkorban untuk menopang, memberi kekuatan hidup, memberi optimisme, menjadi tempat berbagi beban,  bagi sahabat yang sedang susah, putus asa, dan lemah.

Lagu yang penuh dengan religiositas itu terasa sangat inspiratif bagi banyak orang. Tidak heran, lagu itu menjadi lagu populer sepanjang masa dan menyabet penghargaan 8 platinum. Religiositas lagu itu tampak dalam lirik-lirik yang amat mengagungkan nilai-nilai pengorbanan, perhatian dan. kepedulian. Meski lagu itu juga memotret sisi tentang kerapuhan manusia yang tidak bisa hidup dalam kesendirian.

Bagi Simon, seorang sahabat yang sejati adalah ketika ia tetap setia mendampingi sahabatnya ketika berada dalam kegelapan, kefrustasian, dan kecemasan. Disitulah peran sahabat yang menjadi penghibur dalam kekalutan hidup. Sahabat itu bisa siapa saja. Mungkin ia adalah saudara, pasangan hidup, tetangga, bahkan musuhnya sekalipun.

*********

Membayangkan hidup Ayub dalam kemalapetakaan yang dihadapinya sungguh terasa sangat sulit. Malapetaka dan penderitaan yang dialami Ayub telah menggoncangkan hidupnya. Siapa yang sanggup hidup dalam keterpurukan dalam waktu yang amat singkat? Siapa yang tahan dengan tekanan penderitaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya olehnya?

Tidak ada satupun orang-orang dekatnya yang mendampingi dirinya ketika hidup dalam keterpurukan. Bahkan istri, orang terdekatnya, yang diharapkan menjadi kekuatan dirinya, justru mencela kemalangan dirinya dan meruntuhkan semangat hidupnya.

Namun dalam kefrustasian hidup karena penderitaan, Ayub menemukan Sahabat sejati. Kehadiran Sahabat itulah yang tetap memberinya harapan ketika putus asa; memberinya kesetiaan ketika dalam kesendirian; memberi topangan ketika hampir di ambang keambrukan dan memberi kekuatan menatap masa depan.

Tuhan, Sahabatnya, itu memang mengijinkan penderitaan dialami oleh Ayub. Tetapi Ayub menaruh kepercayaan bahwa Sang Sahabat itu tidaklah akan meninggalkan dirinya lemah dan rapuh dalam situasi penuh misteri itu yang diluar jangkauan pemikirannya. Tuhannyalah yang menjadi sandaran kekuatan dan jembatan baginya melewati situasi berbahaya bagi iman dan kehidupannya.

******

“We need a bridge, not a wall”. Kata Paus Fransiskus ketika merayakan 25 tahun keruntuhan Tembok Berlin. Paus menyatakan bahwa dimana ada dinding, disitu ada hati yang tertutup. Dan itu berarti ada pengasingan manusia.

Tembok Berlin yang dibangun tahun 1961 adalah simbol tentang pemisahan manusia berdasarkan ideologi negara. Banyak masyarakat yang terluka karena keterpisahan antar keluarga, antar saudara, maupun antar teman. Di dunia ini banyak orang dipaksa terpisah karena adanya perbedaan agama, ideologi, paham, politik, budaya dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Keberagaman yang sejatinya adalah sebuah kekayaan, menjadi sebuah alat ampuh untuk memisahkan hubungan dalam masyarakat. Bahkan dalam satu agama yang samapun, orang bisa dikucilkan, dipisahkan dan diasingkan karena perbedaan tafsir. Perbedaan-perbedaan itu telah menjadi sebuah dinding yang menghalangi komunikasi dan interaksi antar manusia.

Dinding itu telah menciptakan permusuhan dan rasa curiga diantara manusia. Dan dinding itu sering dibuat oleh manusia sendiri karena ketidakmampuan mengelola perbedaan. Dinding itu akan menutup kemampuan manusia untuk menerima orang lain. Dan dinding itu pada akhirnya menciptakan kesendiriaan (loneliness) yang berbahaya bagi hidup manusia. Karena manusia menjadi sangat egois dan “selfish”.

Bukan dinding yang diperlukan untuk mengatasi perbedaan, tetapi jembatan. Melalui jembatan orang bisa bertemu dalam perbedaan. Orang bisa menyeberangi dinding untuk berdialog tanpa perlu membuang perbedaan. Jembatan menjadi titik jumpa dalam interaksi manusia. Tentu saja jembatan itu bisa dibangun jika setiap orang membuang ketertutupan hatinya.

Hati yang terbuka adalah kunci untuk membangun jembatan. Itu hanya lahir dalam sebuah kesadaran hidup bahwa manusia hidup tercipta bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain. Karena itu menerima orang lain dalam keperbedaan pada dasarnya adalah sama seperti menerima diri sendiri. Jika sulit menerima orang lain, bukankah masalahnya ada di dalam diri kita? Dan jika sulit menerima orang lain, bukankah kita sedang membangun dinding-dinding hidup kita?

Sang Guru – Catatan Kecil Mengenang Bapak

Sang Guru – Catatan Kecil Mengenang Bapak
Bapak saya adalah guru. Bapak menyelesaikan pendidikan tertingginya di PGSLP [ Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama] dalam perjuangan yang tidak mudah. Ia harus “ngenger” [ istilah yang sering dipakai untuk seseorang yang hidup mengabdi kepada keluarga orang lain] sejak kecil hanya supaya bisa bersekolah. Namun perjuangan untuk “ngenger” itu membuat bapak paham bahwa pendidikan adalah segala-segalanya.

Bapak menjadi guru sejak tahun 1958 di sebuah Sekolah Rakyat di Purbalingga sampai akhirnya pensiun sebagai guru di SMP Negeri Miri di Sragen. Saya adalah 8 bersaudara. Impian bapak sangat sederhana. Bapak ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang sebaik mungkin. Sadar bahwa gaji seorang guru smp tidaklah cukup untuk membiayai 8 anak-anaknya, bapak memutuskan untuk mengajar tambahan di sekolah swasta pertama yang ada di kota kecamatan Gemolong Sragen.

Tidak cukup hanya itu, bapak juga membuka kursus bahasa Inggris di rumah. Bapak pernah mengikuti kursus bahasa Inggris di Oxford Solo, yang merupakan kursus bahasa inggris satu-satunya di kota Solo saat itu. Bapak sering pulang malam sampai ke rumah yang  di desa karena mengikuti kursus tersebut. Selesai mendapatkan sertifikat kursus tersebut, bapak mulai mengurus perijinan membuka kursus yang dicita-citakannya. Dan tidak perlu waktu lama, akhirnya sebuah papan iklan tegak berdiri di depan pagar rumah: “Kursus Bahasa Inggris untuk SMP dan SLTA”.

Kursus itu dilakukan di ruang tamu rumah. Bapak mempersiapkan papan tulis dan bangku-bangku untuk para peserta kursus. Setiap sore saya bisa melihat bagaimana bapak mengajar di kursus yang dikelolanya. Kursus itu berkembang dengan baik, sehingga ruang tamu tidak cukup lagi menampung jumlah murid yang datang. Bapak memindahkan kursusnya di sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah, setelah mendapatkan ijin dari kepala sekolahnya. Dan ketika respon semakin baik, akhirnya bapak memindahkan ruang kursus di kantor pendidikan dan kebudayaan di kecamatan dengan seijin kepala P&K. Setiap pagi sampai siang, bapak menjadi guru di smp. Sorenya mengajar di kursusnya.

Perintisan kursus bahasa Inggris yang dilakukan bapak ternyata menarik minat orang lain untuk membuat kursus-kursus serupa. Persaingan kursus itu membuat usaha kursus bapak mulai menurun, sampai akhirnya bapak menutup kursus bahasa inggris yang telah dirintisnya itu. Bapak kembali hanya fokus dengan panggilannya menjadi seorang guru smp sampai pensiun di tahun 1998.

*********

Dalam kesehariannya, bapak menjadi guru bagi saya. Bapak sangat peduli dengan budaya. Dan cara bapak menularkan budaya kepada saya adalah dengan mengajarkan tembang-tembang yang memiliki filsafat kehidupan yang agung. Setiao malam selepas belajar, bapak selalu menghampiri saya untuk mengajarkan berbagai tembang jawa, khususnya tembang-tembang macapat. Beberapa tembang macapat masih saya ingat sampai sekarang. [Saya pernah dengan bangga menyanyikan salah satu tembang macapat yang diajarkan bapak di sebuah pertemuan alumni Jabodetabek yang mengusung tema budaya]

Sebagai guru, bapak tidak pernah bosan mencintai negeri ini. Rasa cintanya Itu dibuktikannya dengan kesetiaannya untuk selalu mendorong saya dan saudara saya lainnya berpartisipasi dalam pemilu. Bahkan dalam pemilu 2014 yang lalu, meski dalam kondisi sakit, bapak tetap mengingatkan saya untuk tidak lupa ikut mencoblos di pemilu.  Bagi bapak, itulah cara kita mencintai negeri ini. Itulah cara untuk merubah negeri dengan memilih pemimpin-pemimpin yang baik.

Sebagai guru, bapak dekat dengan masyarakat. Dan karenanya , bapak terpilih selama beberapa periode menjadi ketua RT. Tidaklah mengherankan, karena di desa profesi guru sangatlah mendapat tempat yang terhormat. Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat desa sering memanggil para guru dengan sebutan “mas guru”. [Ibu saya yang berprofesi sebagai guru juga dipanggil dengan sebutan “mas guru”].

Kalau berkunjung ke rumah di Bekasi, bapak akan selalu bertanya apakah keterlibatan saya di lingkungan dan masyarakat. Nasehat tanpa bosan dari bapak itulah yang membuat saya tidak kuasa menolak ketika masyarakat dimana saya tinggal meminta saya sebagai pengurus RT

Bapak tidak hanya menjadi guru di sekolah dan guru di masyarakat. Bapak juga telah menjadi “guru” di gereja kristen jawa Gemolong sebuah gereja yang dirintis pertama kali di daerah saya. Kehidupannya di kemajelisan gereja dalam waktu yang panjang menegaskan perannya sebagai seorang guru bagi masyarakat [jemaat] gereja.

Saya telah menyaksikan dalam hidup saya bagaimana bapak menghidupi perannya sebagai guru. Guru bagi saya, guru bagi keluarga, “guru” bagi gereja dan guru bagi masyarakat.

Hari ini hari Guru. Saya tersentak dalam kenangan kepada bapak, sang guru, yang telah pergi menghadap Tuhan 3 bulan lalu. Sang guru itu meninggalkan kenangan yang amat mendalam dalam diri saya. Sang guru itu telah mengajarkan kepada saya tentang panggilan untuk “memberi hidup” dalam peran-peran yang dilakoninya.

Selamat hari guru.

Tanah Bekasi, 25 November 2015

Ngangkang Dan Budaya Ora Ilok

Dalam budaya masyarakat tertentu memang ada semacam aturan kepatutan  tidak tertulis bahwa wanita tidak elok jika ngangkang ketika duduk, atau melakukan hal-hal lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan dengan posisi ‘tidak ngangkang’. Artinya sebenarnya ada pengecualian jika berkaitan dengan keleluasaan dalam bergerak, khususnya untuk aktivitas-aktivitas yang memang membutuhkan keleluasaan itu.

Tradisi budaya yang bersangkut paut dengan etika bagaimana perempuan berperilaku itu hidup di masyarakat selamat ratusan tahun. Di tradisi jawa misalnya, ada semacam etika kesopanan yang tidak tertulis, bahwa wanita tidak boleh tertawa terbahak-bahak dan bersuara keras. Tradisi ini diajarkan turun temurun. Begitu banyaknya aturan yang bersangkut paut dengan etika bagi perempuan, maka di tradisi budaya jawa sebutan wanita dimaknai sebagai ‘wanito: wani ditoto’, atau perempuan yang bersedia diatur.

Dalam perpektif budaya jawa, tujuan etika bagi perempuan itu untuk  ‘menegakkan’ kehormatan bagi wanita. Ada berbagai tradisi budaya dan etika di nusantara ini yang ditujukan bagi kaum perempuan. Karena itu jika perempuan tidak berperilaku sesuai dengan etika budaya tersebut, dipandang masyarakat sebagai perilaku ‘ora ilok’ atau tidak elok. Meskipun sebenarnya budaya Jawa juga mengatur perilaku laki-laki. Continue reading

Peziarahan Iman

I.
Piscine Molitor  atau Pi berusaha mencari jati diri dan pewujudan Tuhan sejak masih belia. Pi belajar mendalami banyak agama dan selalu bertanya tentang keberadaan Tuhan. Namun Pi tidak juga memutuskan untuk menganut suatu agama. Ia meminta diri dibaptis, selalu berdoa sebelum makan, namun sekaligus juga melakukan sholat lima waktu. Ia terus melakukan pencarian akan kewujudan Tuhan itu dengan bertanya dan mencoba.

Peziarahan imannya menuntunnya kepada sebuah pengembaraan di laut selama 227 hari bersama seekor harimau Bengal yang bernama Richard Parker, ketika perahu yang ditumpanginya bersama keluarga tenggelam diterjang badai laut. Hanya tersisa dirinya dan Parker.

Perjuangannya bertahan di laut bersama Parker merefleksikan pengembaraan imannya. Ia tidak menyalahkan Tuhan atas musibah itu, tetapi bertahan hidup tanpa putus asa, membangun komunikasi dengan Parker untuk saling menghargai dalam kesulitan hidup itu. Ia terus membangun harapan (iman) dan berjuang untuk bertahan meski  kemungkinannya sangat kecil.

Pengembaraan iman dan petulangan hidup seorang anak India tersebut terefleksi dalam film “Life of Pi”, yang diangkat dari novel yang menjadi best seller karya Yann Martel. Pi menemukan jejak-jejak kehadiran Tuhan dalam pengembaraan hidupnya yang sedemikian sulit itu. Continue reading