Daily Archives: July 20, 2017

e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (3)

e-Sermon Dan Pendeta Google

Kemajuan internet telah memudahkan manusia dalam mencari informasi apa saja yang diperlukan dalam mencari jawaban terhadap berbagai persoalan manusia. Mesin pencari informasi, seperti Google, telah menjadi penolong bagi manusia dalam upaya mencari tahu hal-hal yang baru, mengkonfirmasi hal-hal yang menjadi kebingungan manusia, mencari jalan keluar dalam persoalan-persoalan manusia. Termasuk jawaban akan persoalan spiritual manusia. Dan untuk urusan spiritual ini, “Pendeta Google” telah menjadi penasihat yang dihandalkan bagi penggunanya. Bagaimana tidak. Seseorang bisa mengetik di papan keyboard komputernya yang terhubung internet dengan sebuah pertanyaan, “tips mengatasi depresi”, dan dalam sekejab mesin pencari akan memberikan sekian ribu (bahkan mungkin jutaan) tautan yang bisa menjadi alternatif jawaban bagi orang tersebut. Jawaban itu bisa menguatkan orang tersebut, tetapi bisa menghancurkannya.

Pencarian jawaban akan berbagai persoalan manusia dalam dunia digital ini, bisa menjadi sebuah pola baru yang bisa “mereduksi” peran gereja dalam membangun spiritualitas jemaatnya. Terutama jika gereja tidak memiliki sebuah kesadaran akan perubahan pola perilaku jemaatnya ini. Atau jika gereja kurang peduli atau kurang memahami persoalan-persoalan kekinian jemaatnya yang banyak berinteraksi di media digital ini, sehingga kotbah atau program pelayanan gereja tidak memberikan jawaban yang dibutuhkan oleh jemaat tersebut. Maka terjadilah “Jaka sembung naik ojek”. Kotbah pendeta di mimbar tidak relevan dengan situasi jemaatnya. Dan sang “pendeta” Google-pun tidak sungkan-sungkan menggantikan peran itu.

Lalu bagaimana peran gereja dalam merespon persoalan spiritualitas di dunia digital ini? Tentu jika semakin banyak dan intensif gereja hadir di dunia digital ini, akan semakin banyak manfaat yang akan diambil oleh setiap pengguna internet yang mempunyai kebutuhan akan persoalan spiritualitas itu. Kehadiran gereja tentu saja melalui banyak cara. Para pendeta yang rajin menulis di blog pribadinya, facebook, twitter, atau menulis di berbagai komunitas-komunitas online bisa menjadi alternatif untuk merawat jemaatnya yang juga rajin menjelajah dunia digital itu. Sebuah e-counseling (penggembalaan elektronik) pun tercipta melalui cara ini. Interaksi pendeta dan jemaatnya di media jejaring sosialpun akan menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan tulisan-tulisan pendeta yang aktif di dunia digital itu bisa dinikmati oleh setiap pengguna internet lainnya yang ingin mencari tahu lebih lanjut tentang sebuah isu atau persoalan yang kebetulan relevan dengan tulisan-tulisan tersebut. Bukankah, tanpa kita sadari gereja sedang meluaskan misi (baca: pengaruhnya) dalam dunia digital yang tidak kalah padat penduduknya itu?

Cara lain adalah bagaimana gereja mendorong jemaatnya yang aktif dalam dunia digital tersebut untuk berperan menjadi e-preacher yang menyuarakan gagasan-gagasan kristiani melalui jejaring sosial yang diikutinya, blog, atau komunitas-komunitas online lainnya. Para “aktivis gereja” di media sosial inilah yang menjadi suara gereja dengan membawa isu-isu spiritual yang relevan dengan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi jemaat dan masyarakat di networking society ini. Karenanya gereja perlu mendidik jemaat warga gereja pengguna jejaring sosial untuk berinteraksi di dunia digital tersebut secara bertanggung jawab dan mendorongnya untuk menjadi berkat dan suar bagi masyarakat digital.

Namun jelas bahwa gagasan e-sermon (kotbah elektronik), tidak akan menggantikan pola bergereja saat ini. Persekutuan yang real (nyata) dan berwujud tetap menjadi sebuah kebutuhan utama yang tidak tergantikan oleh persekutuan yang terjadi dalam jejaring di network society ini. Jemaat tetap perlu berinteraksi dalam sebuah persekutuan yang hangat untuk belajar menggumuli firmanNya, baik melalui ibadah pemahaman alkitab maupun melalui kotbah di mimbar. Ini dikarenakan persekutuan dalam jejaring sosial di dunia digital tetap memiliki keterbatasan. Manusia pada dasarnya tetap membutuhkan interaksi langsung yang bersifat individual dengan sentuhan kemanusiaan dan perhatian yang mendalam, agar gejala kekeringan hubungan akibat perubahan pola relasi manusia ini bisa diatasi. Namun gagasan penetrasi gereja ke dunia digital ini merupakan sebuah gagasan pengembangan pelayanan gereja yang harus digumuli dan disikapi oleh gereja, akibat dari perubahan pola interaksi manusia tersebut.

Penutup

Tugas utama gereja adalah mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Dalam konteks perubahan pola relasi dan perilaku jemaat dan masyarakat akibat kemajuan teknologi informasi tersebut, maka tugas itu dijalankan dengan mengoptimalkan sarana informasi dan teknologi yang berkembang saat ini.

Gereja perlu “melek” terhadap perubahan yang sedang berlangsung ini. Generasi muda gereja sebagian besar paham akan “benda-benda” yang ada dunia digital ini. Mereka adalah generasi yang lekat dengan teknologi. Karena itu gereja bisa memberdayakan generasi muda untuk mengembangkan model-model penerapan komunikasi dan informasi yang tepat bagi pengembangan pelayanannya. Gereja tidak perlu takut atau kuatir – sikap ini yang sering menjadi penghambat dalam penerapan teknologi di gereja – jika gagasan-gagasan model komunikasi dan informasi diaplikasikan untuk mendukung pelayanan gereja.

Pusaran arus perubahan pola interaksi dan komunikasi di dunia digital ini harus menyadarkan gereja untuk segera memikirkan cara-cara baru dalam merawat jemaatnya. Teknologi itu sudah memberikan banyak alternatif kemudahan untuk memecahkan banyak persoalan komunikasi dan informasi. Dan karenanya gereja seharusnya mulai mengaplikasikannya untuk menjawab tantangan pelayanan kedepan. Tentu gereja tetap perlu memikirkan bagaimana cara mereduksi dampak-dampak dari teknologi itu sendiri, agar esensi pelayanan gereja tetap dipertahankan.

Gereja seharusnya juga meresponi kebutuhan jemaat dan masyarakat yang terhubung dalam jejaring komunikasi yang besar ini, dengan terus menerus memikirkan kehadirannya dalam dunia digital ini agar tugas kesaksian dan persekutuan gereja terus berkembang. Jemaat-jemaat juga didorong dan diperlengkapi dengan nilai-nilai kristiani yang kuat, agar mampu melakukan tanggung jawab dan panggilannya untuk menjadi suar dan berkat di dunia digital ini. Semoga!

e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (2)

e-Relation Dan Penetrasi Gereja

Kebutuhan manusia yang hidup dalam jaman digital ini sangat berbeda dengan kebutuhan di jaman sebelumnya. Arus modernisasi dalam pola dan cara berkomunikasi yang begitu cepat, mengobah pola dan perilaku manusia yang serba cepat pula. Karena itu organisasi, termasuk gereja, yang lambat meresponi kebutuhan anggotanya akan semakin kewalahan dalam memenuhi apa yang diharapkan oleh mereka. Dan terjadilah gap dalam pelayanan organisasi kepada anggotanya.

Dalam dunia digital, keterpautan antara individu tercipta dalam sebuah pola interaksi melalui jejaring sosial yang menguat melalui kemajuan teknologi informasi ini. Jejaring ini melahirkan pertukaran informasi dan data yang secara cepat terjadi di antara masyarakat pengguna jejaring sosial, dan menciptakan hubungan-hubungan baru yang bisa positif maupun negatif. Pola komunikasi yang terbangun dalam dunia digital melalui jejaring sosial (milis, twitter, facebook, skype dan sebagainya) meskipun intens, tetapi tetap memiliki keterbatasan. Interaksi yang tanpa sentuhan hati, keterbukaan yang “terbatas” karena tidak akan mampu mengungkapan perasaan terdalam individu, pencitraan yang maya atau palsu menjadi sebuah model atau pola relasi yang kering.

Teknologi digital memang mampu mempertemukan individu di luar batas-batas komunitas yang dimilikinya dan menciptakan banyak persahabatan-persahabatan baru, relasi-relasi yang baru yang memungkinkan proses interaksi ide, gagasan, ideologi, dan iman terjadi. Di satu sisi terciptanya hubungan dari jejaring di jaman digital ini bisa memerosotkan pribadi manusia ketika terjadi proses manipulasi dan monopoli secara tidak bertanggung jawab. Penciptaan hubungan baru ini sekaligus memberikan ruang “pertikaian” yang meluas dalam interaksi antar manusia ketika terjadi konflik dalam “relasi digital” tersebut, oleh karena kecepatan informasi yang sulit dicegah dalam penyebarannya. Namun di sisi lain adalah sebuah peluang untuk menyatakan kehadiran khas kristiani dalam dunia jejaring digital ini melalui berbagai bentuk komunikasi yang jujur, terbuka, hormat, membangun, dan bertanggung jawab. Penetrasi gereja dalam media baru ini tidak sekedar mendorong jemaat membawa isu-isu religius secara terbuka dan bertanggung jawab dalam panggung media, tetapi juga suara yang setia di dunia digital itu tentang berbagai pergumulan anggota jemaatnya yang menuntut pertanggungjawaban atas berbagai pilihan yang diambil dan di”share”kan melalui jejaring sosialnya.

Karena itu gereja harus mendorong kehadiran orang percaya dalam relasi digital ini untuk bisa secara kreatif dan bertanggung jawab, dengan tetap mendepankan sebuah komunikasi dalam relasi yang penuh hormat, menggugah kesadaran kemanusiaan, membuka cakrawala intelektual dan spiritual yang lebih luas, dan memperkenalkan iman dalam arti seluas-luasnya.

Gereja harus terus mendorong sebuah relasi yang utuh yang tidak mampu diberikan dalam sebuah pola relasi digital yang terbatas tersebut. Bahwa relasi antar manusia adalah relasi kepribadian, karena itu relasi digital tersebut tidak akan pernah mampu menjawab kebutuhan interaksi manusia yang seutuhnya. Perubahan cara berinteraksi manusia ini akan berpengaruh besar dalam pelayanan gereja yang menekankan makna persekutuan yang utuh dan hangat dalam kehidupan gereja. Perlu sebuah kreativitas dari pelayanan gereja agar perubahan pola interaksi ini diarahkan dalam sebuah model dan bentuk persekutuan (fellowship) yang tetap memanfaatkan kemajuan digital ini, namun tetap memberikan arah dan pemaknaan akan arti persekutuan yang seutuhnya. Yaitu bagaimana, meski di dunia digital, anggota jemaat tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan keutuhan dan kejujuran.

Namun e-relation ini tetap harus dibawa ke dalam ranah persekutuan yang menghadirkan interaksi fisik yang memungkinkan relasi yang utuh itu benar-benar terjadi. Jejaring sosial hanya sebuah alat penciptaan hubungan yang memudahkan interaksi antar individu terjadi dengan lebih luas dan cepat. Gereja memanfaatkan kemudahan dan kecepatan dalam interaksi manusia tersebut untuk membangun komunikasi dan berbagi informasi yang kemudian membawanya ke dalam persekutuan yang sebenar-benarnya. Karenanya, gereja rasanya harus hadir dalam jejaring-jejaring sosial untuk mendekatkan diri dengan jemaatnya yang sedang menjelajahi hubungan-hubungan baru di dunia itu, sekaligus merawat jemaatnya yang ada dalam dunia digital tersebut.

e-Church? Gereja Dalam Pusaran Arus Dunia Digital (1)

Perubahan dunia sedang berlangsung. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengintegrasikan bumi dalam sebuah komunitas global yang saling terhubung satu dengan yang lainnya, tanpa batasan waktu dan jarak. Perkembangan teknologi informasi dan teknologi komunikasi telah menciptakan sebuah cara baru dalam kehidupan yang dikenal dengan e-lifeyaitu sebuah kehidupan yang dipengaruhi ‘proses elektronik’ dari peralatan-peralatan media informasi dan komunikasi. Perubahan-perubahan ini telah membentuk sebuah masyarakat baru yang disebut sebagai Network Society. Masyarakat ini bercirikan multikultural dalam berbagai aktivitasnya. Proses globalisasi yang mentransformasikan kehidupan individu manusia dan komunitas masyarakat dunia ini, terus berlangsung secara cepat seiring dengan percepatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi itu.

Melalui teori evolusinya, Darwin pernah mengemukakan tentang “survival of the fittest”, maka di era digital yang ditandai dengan perubahan yang cepat dalam teknologi informasi dan komunikasi ini, maka berlakulah “survival of the fastest”. Hilbert dan Lopez, peneliti dari University of Southern Californiamengidentifikasi perubahan teknologi informasi dan komunikasi saat ini dalam sebuah kecepatan eksponensial. Hanya diperlukan kurun waktu 14-34 bulan untuk terjadinya peningkatan kapasitas informasi dan telekomunikasi global sebanyak dua kali lipatnya. Dengan pola perubahan seperti itu, maka yang “bertahan” dalam badai digital ini adalah yang mampu secara cepat beradaptasi dengan teknologi dan memanfaatkannya untuk mendorong perubahan dan transformasi dalam organisasinya. Tidak terkecuali gereja, sebagai sebuah organisasi. Organisasi yang tidak mampu mengantisipasi perubahan teknologi dalam media informasi dan komunikasi ini akan menjadi organisasi yang tidak efisien, lambat, kaku, tidak responsif, dan tidak memuaskan pemangku kepentingan (stakeholders) dari organisasi tersebut.

Ketika revolusi Industri mampu mentransformasi masyarakat melalui perubahan-perubahan dalam kegiatan produksi dan pekerja, maka revolusi teknologi informasi juga mengakibatkan perubahan yang sangat fundamental di dalam proses dan cara berkomunikasi masyarakat sekarang ini. Kemajuan teknologi internet, misalnya, telah menciptakan sebuah communication network (jejaring komunikasi) yang menjadi sebuah sarana penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jejaring komunikasi yang baru ini mampu melahirkan proses atau cara belajar yang baru pula, sehingga manusia sekarang sedang hidup dalam sebuah transformasi budaya yang begitu besar dan massive.

Peluang-peluang interaksi antar manusia dan organisasi dengan cara-cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu membuka cakrawala baru tentang sebuah dunia baru yang sedang didominasi oleh begitu banyak kemungkinan yang akan dihadirkan melalui media komunikasi dan informasi yang baru tersebut. Perubahan dunia yang sedang terjadi akibat dari transformasi yang sedang berlangsung ini mengubah seluruh tatanan sosial dan budaya masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Sekaligus menjadi sebuah tantangan yang sangat serius tentang makna komunikasi di masyarakat yang serba digital dengan segala kecanggihan dan kerumitannya itu. Semua individu dan organisasi, tidak terkecuali gereja, terhisap dalam proses transformasi ini. Pertanyaannya adalah sejauh mana hasil kecerdasan dan kecakapan manusia ini, bisa diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kebaikan manusia itu sendiri. Bagi gereja, bagaimana memanfaatkan media hasil kecakapan manusia ini untuk memenuhi dan melayani hasrat manusia akan kebenaran dan memberikan pelayanan yang optimal bagi jemaat dan masyarakat.

e-Office Dan Komunikasi Dalam Pelayanan Gereja

Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan individu dan organisasi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kecepatan dalam berbagai aktivitas. Teknologi komputer yang terhubung dalam jejaring di sistim manajemen informasi telah memudahkan orang dan organisasi untuk berbagi data dan informasi secara cepat, sehingga memperkuat proses dalam pengambilan keputusan, baik yang bersifat operasional maupun strategis. Demikian juga dalam interaksi antar individu dan organisasi melalui teknologi informasi untuk berbagi data dan informasi juga berlangsung secara cepat. Sebagian besar individu dan organisasi di kota besar amat tergantung kepada konektivitas teknologi informasi ini. Hampir semua terhubung dalam sebuah sistim informasi yang sangat besar lalulintasnya, sehingga pertukaran data terjadi dengan sangatmassive dan cepat, apalagi ketika pola transfer data itu ditunjang melalui mobile internet yang bisa diakses dari sebuah telepon genggam.

Terjadi pergeseran dalam proses pengelolaan organisasi, dari fasilitas fisik menjadi jejaring (networking), dari fasilitas kertas menjadionline, dari siklus waktu berkala menjadi real time, dari ruang menjadi everywhere.

Kecanggihan sistim informasi dan komunikasi yang banyak diterapkan di berbagai organisasi ini telah menciptakan penyederhanaan (simplifikasi) pola manajemen kantor menjadi jauh lebih efisien dalam waktu dan biaya. Sistim database organisasi rapi, akurat, mudah diakses, dan aktual menjadi sebuah kekuatan organisasi untuk mengoptimalkan semua sumberdaya (resources) yang dimilikinya untuk meningkatkan layanan dan kinerja organisasi. Kecepatan akses, keakuratan, dan keaktualan informasi akan memudahkan setiap pelaku organisasi untuk merencanakan dan mengelola kegiatan layanannya, juga termasuk bagaimana bisa melayani stakeholders-nya dengan lebih baik dan lebih optimal.

Gereja memiliki banyak pemangku kepentingan (stakeholders), yang sangat berkepentingan terhadap “pelayanan yang seperti apa dan bagaimana” yang akan dilakukan oleh gereja. Di antara pemangku kepentingan itu adalah jemaat, pelayan jemaat, pendeta, karyawan gereja, masyarakat sekitar, gereja klasis/sinode, lembaga Kristen atau mitra GKI, lembaga masyarakat lainnya, maupun pemerintah. Untuk memenuhi harapan stakeholders, maka gereja sebagai organsisasi perlu mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimilikinya agar bisa terlibat dan berpartisipasi dalam menggerakkan pelayanan yang dirancangnya. Sumberdaya yang terorganisir dalam sebuah sistim informasi gereja akan memudahkan para pelayan jemaat (pendeta, majelis jemaat, pelayan jemaat) dalam merencanakan, mengkoordinir, dan mengelola pelayanan dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya yang mudah diakses tersebut. Misalnya, jika sistim informasi gereja mampu memetakan karakteristik jemaat secara baik tentang: profesi, kompetensi, ketrampilan, talenta yang dimiliki oleh jemaat, maka jika gereja ingin merencanakan sebuah pelayanan yang membutuhkan keterlibatan jemaat, sistim informasi tersebut akan membantu pelayan jemaat di dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan jemaat-jemaat yang memiliki kompetensi atau profesi yang relevan dengan pelayanan yang akan dikerjakan. Melibatkan jemaat untuk melayani sesuai kompetensi dan ketrampilan yang dimiliki menjadi lebih mudah, dibandingkan ‘memaksa’ jemaat untuk ikut melayani di gereja, tetapi tidak sesuai dengan “apa” yang dimilikinya.

Membangun sistim informasi gereja bisa akan costly (membutuhkan biaya besar), bisa juga tidak, tergantung kepada tingkat kebutuhan gereja yang bersangkutan. Tetapi bahwa gereja perlu memanfaatkan semua kemajuan teknologi untuk membangun jejaring dengan jemaatnya adalah hal yang penting, terutama gereja di perkotaan. Secara sederhananya asalkan terhubung dengan internet saja, gereja sudah bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan jemaatnya dalam berbagai cara dan media di dalamnya, sehingga rencana-rencana pelayanan bisa dibagikan dan jemaat bisa digalang untuk terlibat dalam pelayanan yang direncanakannya tersebut. Dan dengan demikian gereja bisa melayani jemaat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kapan pun itu anggota jemaat dan jemaat bisa berkomunikasi dengan gerejanya.

Perkembangan teknologi komunikasi lainnya, seperti blackberry,smart phone android, tablet dan sebagainya, telah memungkinan proses komunikasi berlangsung secara cepat dan real time. Ada banyak cara atau teknologi untuk mengkomunikasikan pesan dengan cara yang cepat, dan bersifat massal itu. Teknologi ini bisa digunakan oleh gereja untuk menginformasikan berbagai berita tentang pelayanan dan kegiatan gereja, sehingga jemaat selalu terupdatedengan informasi pelayanan tersebut. Di jaman digital ini, agak aneh rasanya jika gereja kesulitan dalam  membangun komunikasi virtualdengan jemaatnya, kecuali bahwa gereja tidak memiliki atau kurang peduli dengan sistim database jemaat.

Penggunaan teknologi multimedia (teks, audio, video, grafik, animasi) memungkinkan proses komunikasi menjadi jauh lebih menyentuh, menarik, interaktif, dan integratif, sehingga presentasi untuk mentransfer pengetahuan, pemahaman, maupun pergumulan pelayanan gereja akan mudah untuk ditangkap, dipahami, dan akhirnya dimiliki oleh seluruh jemaat gereja melalui keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas gereja. Baik dalam aktivitas peribadatan maupun pertemuan-pertemuan jemaat lainnya. Dengan penggunaan teknologi multimedia, kemampuan gereja dalam mentransfer visi pelayanan menjadi jauh lebih meningkat dan menguat, sehingga dukungan terhadap pelayanan gereja seharusnya juga semakin solid.`