e-Sermon Dan Pendeta Google
Kemajuan internet telah memudahkan manusia dalam mencari informasi apa saja yang diperlukan dalam mencari jawaban terhadap berbagai persoalan manusia. Mesin pencari informasi, seperti Google, telah menjadi penolong bagi manusia dalam upaya mencari tahu hal-hal yang baru, mengkonfirmasi hal-hal yang menjadi kebingungan manusia, mencari jalan keluar dalam persoalan-persoalan manusia. Termasuk jawaban akan persoalan spiritual manusia. Dan untuk urusan spiritual ini, “Pendeta Google” telah menjadi penasihat yang dihandalkan bagi penggunanya. Bagaimana tidak. Seseorang bisa mengetik di papan keyboard komputernya yang terhubung internet dengan sebuah pertanyaan, “tips mengatasi depresi”, dan dalam sekejab mesin pencari akan memberikan sekian ribu (bahkan mungkin jutaan) tautan yang bisa menjadi alternatif jawaban bagi orang tersebut. Jawaban itu bisa menguatkan orang tersebut, tetapi bisa menghancurkannya.
Pencarian jawaban akan berbagai persoalan manusia dalam dunia digital ini, bisa menjadi sebuah pola baru yang bisa “mereduksi” peran gereja dalam membangun spiritualitas jemaatnya. Terutama jika gereja tidak memiliki sebuah kesadaran akan perubahan pola perilaku jemaatnya ini. Atau jika gereja kurang peduli atau kurang memahami persoalan-persoalan kekinian jemaatnya yang banyak berinteraksi di media digital ini, sehingga kotbah atau program pelayanan gereja tidak memberikan jawaban yang dibutuhkan oleh jemaat tersebut. Maka terjadilah “Jaka sembung naik ojek”. Kotbah pendeta di mimbar tidak relevan dengan situasi jemaatnya. Dan sang “pendeta” Google-pun tidak sungkan-sungkan menggantikan peran itu.
Lalu bagaimana peran gereja dalam merespon persoalan spiritualitas di dunia digital ini? Tentu jika semakin banyak dan intensif gereja hadir di dunia digital ini, akan semakin banyak manfaat yang akan diambil oleh setiap pengguna internet yang mempunyai kebutuhan akan persoalan spiritualitas itu. Kehadiran gereja tentu saja melalui banyak cara. Para pendeta yang rajin menulis di blog pribadinya, facebook, twitter, atau menulis di berbagai komunitas-komunitas online bisa menjadi alternatif untuk merawat jemaatnya yang juga rajin menjelajah dunia digital itu. Sebuah e-counseling (penggembalaan elektronik) pun tercipta melalui cara ini. Interaksi pendeta dan jemaatnya di media jejaring sosialpun akan menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan tulisan-tulisan pendeta yang aktif di dunia digital itu bisa dinikmati oleh setiap pengguna internet lainnya yang ingin mencari tahu lebih lanjut tentang sebuah isu atau persoalan yang kebetulan relevan dengan tulisan-tulisan tersebut. Bukankah, tanpa kita sadari gereja sedang meluaskan misi (baca: pengaruhnya) dalam dunia digital yang tidak kalah padat penduduknya itu?
Cara lain adalah bagaimana gereja mendorong jemaatnya yang aktif dalam dunia digital tersebut untuk berperan menjadi e-preacher yang menyuarakan gagasan-gagasan kristiani melalui jejaring sosial yang diikutinya, blog, atau komunitas-komunitas online lainnya. Para “aktivis gereja” di media sosial inilah yang menjadi suara gereja dengan membawa isu-isu spiritual yang relevan dengan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi jemaat dan masyarakat di networking society ini. Karenanya gereja perlu mendidik jemaat warga gereja pengguna jejaring sosial untuk berinteraksi di dunia digital tersebut secara bertanggung jawab dan mendorongnya untuk menjadi berkat dan suar bagi masyarakat digital.
Namun jelas bahwa gagasan e-sermon (kotbah elektronik), tidak akan menggantikan pola bergereja saat ini. Persekutuan yang real (nyata) dan berwujud tetap menjadi sebuah kebutuhan utama yang tidak tergantikan oleh persekutuan yang terjadi dalam jejaring di network society ini. Jemaat tetap perlu berinteraksi dalam sebuah persekutuan yang hangat untuk belajar menggumuli firmanNya, baik melalui ibadah pemahaman alkitab maupun melalui kotbah di mimbar. Ini dikarenakan persekutuan dalam jejaring sosial di dunia digital tetap memiliki keterbatasan. Manusia pada dasarnya tetap membutuhkan interaksi langsung yang bersifat individual dengan sentuhan kemanusiaan dan perhatian yang mendalam, agar gejala kekeringan hubungan akibat perubahan pola relasi manusia ini bisa diatasi. Namun gagasan penetrasi gereja ke dunia digital ini merupakan sebuah gagasan pengembangan pelayanan gereja yang harus digumuli dan disikapi oleh gereja, akibat dari perubahan pola interaksi manusia tersebut.
Penutup
Tugas utama gereja adalah mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Dalam konteks perubahan pola relasi dan perilaku jemaat dan masyarakat akibat kemajuan teknologi informasi tersebut, maka tugas itu dijalankan dengan mengoptimalkan sarana informasi dan teknologi yang berkembang saat ini.
Gereja perlu “melek” terhadap perubahan yang sedang berlangsung ini. Generasi muda gereja sebagian besar paham akan “benda-benda” yang ada dunia digital ini. Mereka adalah generasi yang lekat dengan teknologi. Karena itu gereja bisa memberdayakan generasi muda untuk mengembangkan model-model penerapan komunikasi dan informasi yang tepat bagi pengembangan pelayanannya. Gereja tidak perlu takut atau kuatir – sikap ini yang sering menjadi penghambat dalam penerapan teknologi di gereja – jika gagasan-gagasan model komunikasi dan informasi diaplikasikan untuk mendukung pelayanan gereja.
Pusaran arus perubahan pola interaksi dan komunikasi di dunia digital ini harus menyadarkan gereja untuk segera memikirkan cara-cara baru dalam merawat jemaatnya. Teknologi itu sudah memberikan banyak alternatif kemudahan untuk memecahkan banyak persoalan komunikasi dan informasi. Dan karenanya gereja seharusnya mulai mengaplikasikannya untuk menjawab tantangan pelayanan kedepan. Tentu gereja tetap perlu memikirkan bagaimana cara mereduksi dampak-dampak dari teknologi itu sendiri, agar esensi pelayanan gereja tetap dipertahankan.
Gereja seharusnya juga meresponi kebutuhan jemaat dan masyarakat yang terhubung dalam jejaring komunikasi yang besar ini, dengan terus menerus memikirkan kehadirannya dalam dunia digital ini agar tugas kesaksian dan persekutuan gereja terus berkembang. Jemaat-jemaat juga didorong dan diperlengkapi dengan nilai-nilai kristiani yang kuat, agar mampu melakukan tanggung jawab dan panggilannya untuk menjadi suar dan berkat di dunia digital ini. Semoga!